pengertia qiyas (FIQIH)

Baca juga


pengertia qiyas (FIQIH)




Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan, atau mengukur, seperti menyamakan si A dengaan si B, karena kedua orang itu memiliki tinggi yan sama, bentuk tubuh yangg sama, dan wajah yangg sama. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengaan meter atau alat pengukur yangg lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengaan yangg lain dengaan mencari persamaan-persamaannya.
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengaan yangg lainnya atau penyamaan sesuatu dengaan yangg sejenisnya. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yangg berbede-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalaam istinbath hukum. Dalaam hal ini, mereka terbagi dalaam dua golongan berikut ini.
Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’ , yakni merupakan dalil hukum yangg berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yangg dibuat Syari’ sebagai alat untukk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang oleh para mujtahid ataupun tidak.
Bertitik tolak pada pandangan masing-masing ulama tersebut maka mereka memberikan definisi qiyas sebagai berikut:
1.              Shadr Asy-Syari’at menyatakan bahwa qiyas ialah pemindahan hukum yangg terdapatt pada ashl kapada furu’ atas dasar illat yangg tidak dapatt diketahui dengaan logika bahasa.
2.              Al-Human menyatakan bahwa qiyas ialah persamaan hukum suatu kasus dengaan kasus lainnya karena kesamaan illat hukumnya yangg tidak dapatt diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.
Sebenarnya, masih banyak definisi lainnya yangg dibuat oleh para ulama, namun secara umum qiyas ialah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yangg tidak disebutkan dalaam suatu nash, dengaan suatu hukum yangg disebutkan dalaam nash karena adanya kesamaan dalaam illat-nya

2.2          Rukun Qiyas

Darii pengertian qiyas yangg dikemukakan di atas dapatt disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur yangg berikut:
1.              Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yangg sudah ada nash-nya yangg dijadikan tempat meng-qiyas­-kan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog ialah suatu nash syara’ yangg menunjukkan ketentuan hukum, dengaan kata lain, suatu nash yangg menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqis alaih (yangg dijadikan tempat meng-qiyas-kan), mahmul alaih (tempat membandingkan), atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).
2.              Far’u (cabang) yaitu peristiwa yangg tidak ada nash-nya. Far’u itulah yangg dikehendaki untukk disamakan hukumnya dengaan ashl. Ia disebut juga maqis (yangg dianalogikan) dan musyabbah (yangg diserupakan).
3.              Hukum Ashl, yaitu hukum syara’, yangg ditetapkan oleh suatu nash.
4.              Illat, yaitu suatu sifat yangg terdapatt pada ashl. Dengaan adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengaan sifat itu pula, terdapatt cabang, sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengaan hukum ashl.
Sebagai contoh ialah menjual harta anak yatim ialah suatu peristiwa yangg perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yangg dapatt dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini fara’. Untukk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yangg lain yangg telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yangg illatnya sama dengaan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT, QS. An-Nisa ayat 10:
سَعِيرًا وَسَيَصْلَوْنَ  ۖنَارًا بُطُونِهِمْ فؽ يَأْكُلُونَ إِنَّمَا ظُلْمًا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَ يَأْكُلُونَ الَّذِينَ إِنَّ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yangg memakan harta anak yatim  secara zalim sebenarnya meraka itu menelan api sepenuh perutnya dan meraka akan masuk ke dalaam api yangg menyala-menyala (neraka).”
Persamaan illat antara kedua peristiwa ini ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengaan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.

2.3          Macam-Macam Qiyas

Qiyas dapatt dibagi menjadi 3 macam yaitu:

a.          1.    Qiyas Illat

Qiyas illat ialah qiyas yangg menyamakan ashal dengaan fara’, karena keduanya mempunyai persamaan illat. Qiyas illat terbagi dua, yaitu:
1)              Qiyas jali, ialah qiyas yangg illatnya berdasarkan dalil yangg pasti, tidak ada kemungkinan lain selain darii illat yangg ditunjukkan oleh dalil itu.
2)              Qiyas khafi, ialah qiyas yangg illatnya mungkin dijadikan illat dan mungkin pula tidak dijadikan illat.

b.          2.    Qiyas Dalalah

Qiyas dalalah ialah qiyas yangg illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yangg menunjukkan adanya illat untukk menetapkan suatu hukum darii suatu peristiwa.

c.           3.    Qiyas Syibih

Qiyas syibih ialah qiyas yangg fara’ dapatt diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yangg lebih banyak persamaannya dengaan fara’.
Darii segi kekuatan illat, qiyas dibagi atas tiga, yaitu:
a.               Qiyas Aulawi, yaitu qiyas di mana illat yangg yangg terdapatt pada far’u lebih kuat dibanding illat yangg terdapatt pada ashal, seperti menqiyaskan keharaman memukul orang tua dengaan keharaman berkata “uff” kepadanya.
b.              Qiyas Musawi, yaitu qiyas di mana hukum illat hukum yangg terdapatt pada far’u sama kuatnya dengaan illat yangg terdapatt pada ashal. Misalnya mengqiyaskan keharaman membakar harta anak yatim dengaan keharaman memakan harta anak yatim.
c.               Qiyas Adna, yaitu qiyas di mana illat yangg terdapatt pada far’u lebih lemah dibanding illat hukum yangg terdapatt pada ashal. Misalnya mengqiyaskan apel kepada gandum dalaam menetapkan berlakunya riba fadhli dalaam hal tukar-menukar barang sejenis.

2.4          Syarat-Syarat Qiyas

Qiyas mempunyai beberapa syarat, di antaranya sebagai berikut:
1)              Tidak bertabrakan dengaan dalil yangg lebih kuat. Qiyas itu tidak dianggap jika bertabrakan dengaan dalil nash atau ijma’ atau pendapatt para sahabat. Qiyas yangg bertabrakan dengaan nash dinamakan fasidul i’tibar.
2)              Hukum perkara yangg ashal ditetapkan berdasarkan pada nash atau ijma’. Jika hal itu ditetapkan berdasarkan qiyas, tidak sah dijadikan sebagai sandaran qiyas. Yangg dapatt dijadikan sandaran qiyas hanya pokok yangg pertama karena kembali kepadanya lebih utama.
3)              Hukum pokok tersebut mempunyai alasan yangg diketahui supaya dapatt digabungkan antara yangg pokok dan yangg cabang dalaam hal illat tersebut. Jika hukum pokok tersebut bersifat ibadah murni, maka tidak dapatt dijadikan sandaran qiyas.
4)              Illat tersebut mengandung makna yangg sesuai dengaan hukum yangg diketahui darii kaidah-kaidah syara’.
5)              Illat di atas terdapatt pada cabang sebagaimana terdapatt pada pokok.

2.5     Cara Menetapkan Illat

Illat ialah suatu sifat  yang ada pada ashal yangg sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yangg belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yangg terdapatt pada perbuatan memakan harta anak yatim yangg menjadi dasar untukk menetapkan harapannya hukum menjual harta anak yatim.
Ada 4 macam syarat-syarat illat yang disepakati oleh ulama:
1.              Sifat illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau oleh akal dan panca indra. Hal ini diperlukan karena illat itulah yangg menjadi dasar untukk menetapkan hukum pada fara’. Seperti sifat menghabiskan anak yatim, terjangkau oleh panca indra dan akal, bahwa illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal) yang terjangkau pula oleh panca indra dan akal bahwa illat itu ada pula pada menjual harta anak yatim (fara’). Jika sifat illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
2.              Sifat illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa illat itu pada fara’, karena azaz qiyas itu ialah adanya persamaan illat antara ashal dan fara’. Seperti pembunuhan dengan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakikatnya ialah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang di lakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
3.              Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikma hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan ialah hal sesuai dengan hukum haram minum kamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikma hukum, yaitu memelihara akan dengan menghindarkan diri darii mabuk. Pembunuhan dengaan sengaja ialah sesuai dengan adanya qishash, karena dalam qias terkandung suatu hikma hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
4.              Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang berupa pula di terapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi nabi muhammad SAW tidak di jadikan dasar kias. Misalnya mengawini lebih darii 4 orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang lain.Larangan istri-istri Rasulullah SAW kawin dengan laki-laki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.  
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya ke dalam 4 bagian, yaitu:
a.               Munasib mutsir, yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara’ dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu.

وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ.قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوْاالنِّسَاءَ فِى المَحِيْضِ
Artinya : “Mereka  bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu ialah suatu kotoran, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh….

b.              Munasib mulain, yaitu persesuaian yangg diungkapkan syara’ pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara’ sebagai illat hukum pada masalah yang sedang di hadapi, tetapi diungkapkan sebagai illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah yang lain yangg sejenis dengan hukum yang dihadapi.
c.               Munasib mursal, ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara’. Munasib mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara’ membolehkan atau tidak membolehkannya.
d.              Munasib mulghaa, yaitu munasib yangg tidak diungkapkan oleh syara’ sedikitpun, tetapi ada petunjuk yangg menyatakan bahwa meneetapkan hukum atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan.
Masaalikul illat  ialah cara atau metode yangg digunakan untuk mencari sifat atau illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Di antara cara tersebut ialah:
a.               Nash yangg menunjukkannya
Dalaam hal ini nash sendirilah yang merangkan bahwa suatu sifat merupakan illat hukum darii suatu peristiwa atau kejadian.
b.              Ijma’ yangg menunjukkannya
Maksudnya ialah illat itu ditetapkan dengaan ijmak, belum baligh menjadi illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh menjadi illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal ini disepakati oleh para ulama.
c.               Dengaan penelitian
Ada bermacam cara penilitian, yaitu:
1.              Munasabah, ialah persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian tersebut ialah persesuaian yangg dapatt diterima akal, karena persesuaian itu ada hubungannya dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan bagi manusia.
2.              As-sabaru wa taqsim, maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian, kemudian memisahkan atau memilih di antara sifat-sifat itu yang paling tepat dijadikan sebagai illat hukum. As-sabaru wa taqsim dilakukan apabila ada nash tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijmak yangg menerangkan illatnya.

Contoh as-sabaru wa taqsim ialah Rasullullah SAW mengharamkan riba fadhli, yaitu menukar benda-benda tertentu yangg sejenis dengaan takaran atau timbangan yangg berbeda, berdasarkan sabda beliau:
Artinya: “Emas dengaan emas, perak dengaan perak, gandum dengaan gandum, padi Belanda dengaan padi Belanda, kurma dengaan kurma, garam dengaan garam, hendaklah sama jenisnya, sama ukurannya lagi konstan. Apabila berbeda jenisnya, maka juallah menurut kehendakmu, bila hal itu dilakukan dengaan kontan.”

3.              Tanqiihul manath, ialah mengumpulakan sifat-sifat yangg ada pada fara’ dan sifat-sifat yangg ada ashal kemudian dicari yangg sama sifatnya.sifat yangg sama dijadikan sebagai illat, sedang sifat yangg tidak sama ditinggalkan.
Sebagai contoh ialah pada ayat 25 surah An-Nisaa diterangkan bahwa hukuman yangg diberikan kepada budak perempuan ialah separuh darii hukuman kepada orang merdeka, sedang tidak ada nash yangg menerangkan hukuman bagi budak laki-laki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yangg ada pada keduanya, maka yangg sama ialah sifat kebudakan. Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan itu sebagai illat untukk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-laki sama dengaan hukuman yangg diberikan kepada budak perempuan, yaitu separuh darii hukuman yangg diberikan kepada orang yangg merdeka.
4.              Tahqiqul manath, menetapkan illat. Maksudnya ialah sepakat menetapkan illat pada ashal, baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian illat itu disesuaikan dengaan illat pada fara’. Dalaam hal ini mungkin ada yangg berpendapatt bahwa illat itu dapatt ditetapkan pada fara’ dan mungkin pula ada yangg tidak berpendapatt demikian.
Contohnya, ialah illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati oleh ulama. Berbeda pendapatt ulama jika illat itu diterapakan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dalaam kubur. Menurut Syafi’iyyah dan Malikiyah pencuri itu dihukum potong tangan, yaitu dalaam kubur, sedang hanafiyah tidak menjadikan sebagai illat, karena itu pencuri kafan tidak dipotong tangannya.

Qiyas menurut bahasa ialah pengukran sesuatu dengaan yangg lainnya atau penyamaan sesuatu dengaan yangg sejenisnya.  Ulama ushul fikih memberikan definisi yangg berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalaam istinbath hukum. Qiyas merupakan salah satu hukum Islam yangg banyak diterima oleh ulama.

Adapun rukun qiyas ada 4 yaitu:

1)              Ashal: masalah yangg telah ditetapkan dalaam al-Qur’an.
2)              Far’u: yangg berarti cabang yaitu suatu peristiwa yangg belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada dalaam nash al-Qur’an.
3)              Hukum ashal: hukum yangg terdapatt dalaam masalah yangg ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nash tertntu baik al-Qur’an maupun as-Sunnah.
4)              Illat: pokok yang menjadi landasan qiyas.
Illat ialah suatu sifat  yangg ada pada ashal yangg sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yangg belum ditetapkan hukumnya.
 



Sekian dulu untuk artikel pengertia qiyas (FIQIH) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk kalian semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel pengertia qiyas (FIQIH) dengan alamat link https://inovstudy.blogspot.com/2018/04/pengertia-qiyas-fiqih.html


EmoticonEmoticon